Kamis, 02 Desember 2010

Duduk Sini Nak, Dekat sama bapak

Sebuah kisah renungan, dari kaki gunung Merapi


Duduklah Nak, dekat sama Bapak. Marilah kita berbincang. Berbincang dari hati-hati Biarkan saja abu itu menempel dikursi ini. Tak usah buru-buru dibersihkan. Biarlah ini jadi pengingat bahwa semua ini pernah terjadi. Biarlah abu ini mengingatkan kita akan kematian. Kematian Ibu dan adikmu, 4 hari yang lalu.

Anakku, sudahilah kamu menangis. Menangis itu boleh karena itu tanda kasih. Dan itu fitrahnya manusia. Menangislah kalau itu melegakanmu. Allah memberikan air mata ini, karena memang untuk menangis. Allah yang Maha Rahim (kasih) berikan setitik sifat kasih pada kita. Karenanya lah kita juga mesti mengasihi pada sesama. Tapi usah lah berlarut bersedih. Karena Allah pun masih berikan kesempatan untuk berdoa. Berdoa untuk Ibu & adikmu. Yang sudah terkubur Merapi dan tak ditemukan jasad-Nya.

Berdoalah setiap waktu. Tak usah berdoa, menunggu usai selesai waktu sholat. Kapan saja dimana saja. Sampai akhirnya kamu terlatih untuk berdoa dalam kondisi apapun. Ketika tidur, berjalan dan ditengah keramaian sekalipun.

Allah mengerti benar perasaan kita (manusia) ciptaan-Nya. Jikalau kita (manusia) tak berikan kesempatan berdoa. Berdoa untuk orang yang kita kasihi. Orang yang meninggal mendahului kita. Merapi pun akan meledak lagi. Karenanya kenapa kemudian Islam, agama yang fitrah ini. Memberikan 3 amalan, tentang hubungan orang yang sudah meninggal. sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat sesudahnya dan anak sholeh yang mendoakan orangtuanya.

Yang terpenting dari semuanya. Selain membereskan semua perkakas rumah. Kita juga mesti berbenah pemikiran dan menata hati. Banyak orang sibuk menyelamatkan harta benda, wartawan sibuk memotret dan mencari berita, para relawan sibuk menyelamatkan korban, para ahli bencana sibuk menganalisa data, pengungsi sibuk meminta-minta.
Pada riuh, kesibukan dan kepanikan itu, kita mesti memaknai semua itu untuk ibadah dan perenungan pada Allah. Bukan hal yang lain Bukan karena liputan media, prestisius, dan kebanggaan semata. Karena semata-mata bencana Merapi ini pun sudah di Iradad (kehendaki) Allah. Menjadi teguran dan pelajaran bagi kita semua, yang mengalami, yang melihat dan yang mendengar –Nya.

Bukankah, letusan Merapi ini teguran keras pada kita. Kalau pun kita belum bersujud & masih mendongak (sombong) & melupakan-Nya. Sia-sia kehidupan kita. Tuhan menciptakan manusia, tak lain untuk ibadah, bukan untuk berlibur, bersenda gurau dan menumpuk harta benda.
Anakku kamu lelah ya? Tidurlah dipangkuan Bapak. Tidurlah dengan tenang. Karena rasa lelah dan tidur itu juga Rahim (kasih)-Nya. Bayangkan saja kalau kita tak diberikan nikmat tidur. Mungkin saja jantung kita berdetak kencang dan pecah, atau mata kita memerah, kelelahan dan kemudian menjadi buta.
Tidurlah dengan tenang, Bukankah tidur itu seperti sebuah kematian? Kemanakah ruh kita berada? Bapak juga ngak tahu.

Kaki kita, tangan kita, mata kita, paru-paru kita dan seluruh badan ini seperti halnya “kuda tunggangan”. Ruh kita menumpang padanya. Kuda tunggangan ini adalah pinjaman Allah. Karenanya rawatlah kuda ini. Ajaklah kerumput hijau nun luas, ajaklah ke tepi sungai sekali waktu untuk dimandikan. Ajaklah kudamu untuk mendaki gunung, selagi masih kuat dan muda. Agar si penunggang kuda merasakan kebesaran ciptaan Tuhan. Paculah kudamu menyusuri jalan yang terjal dan melelahkan. Biar kuda dan dirimu terlatih untuk menghadapi kondisi sulit bersama. Bukankah kelelahan bagian dari menempa kehidupan?
Rasullullah pada umur 12 tahun sudah melakukan ekspedisi dagang bersama pamannya. perjalanan padang pasir yang sangat jauh dan berbahaya. Tak sedikit para pedagang meninggal pada masa itu. Karenanya Rasulluh menjadi manusia pilihan, karena dia masa kecil & tumbuhnya selalu tertempa..

Sepertihalnya kursi yang kita duduki ini, meja ini, rumah ini. Semua tak kekal. Kalaupun Merapi menghancurkan rumah ini, semua akan hancur lebur. Dan akhirnya kita tak punya apa-apa lagi. Sia-sia semua harta yang Ayah kumpulkan. Kursi yang Ayah beli di kota 4 bulan lalu, Sapi dikandang belakang, yang rencananya buat Idul Adha pun mati terpanggang. Tanaman salak yang Bapak gadang-gadang minggu depan panen semua rusak. Motor kesayangannmu pun lumer kena panas. Al Quran mas kawin Bapak-Ibu dan sertifikat tanah milik kakek pun terbakar. Semua kena wedhus gembel (Awan Panas).
Bahkan tanah & rumah ini pun mesti kita tinggalkan. Karena pemerintah tak ijinkan kita tinggal disini lagi. Daerah rawan (bahaya) letusan Merapi. Tak apalah, karena diamanpun kita tinggal, itu Buni Allah. Tak ada yang perlu disesali dan khawatirkan.

Jika kita menghitung rupiah, kita menjadi tak punya apa-apa. Tapi semua akan menjadi bernilai dimata Tuhan, ketika kita mengubah niat hidup kita untuk ibadah. Rumah ini Bapak bangun, tak lain untuk keluarga bukan kebanggaan dan bermegah-megahan. Sapi itu sudah Bapak niatkan untuk Kurban sejak setahun yang lalu. Tanaman salak yang bapak rawat pelihara bertahun-tahun, hanyalah untuk mencari rezeki Allah, makan sehari-hari. Motormu, Bapak harap menjadi lebih banyak manfaat untuk berangkat sekolah, mengantar Ibumu ke pasar dan tetangga periksa ke dokter. Bukan untuk sombong dan berlebih-lebihan.

Kursi ini pun Bapak beli tak untuk dipamerkan pada tetangga. Tapi untuk memuliakan tamu-tamu yang berkenan singgah dirumah kita. Dan kursi ini, untuk berkumpul keluarga kita untuk bercengkrama dan berbincang. Berbincang dari hati ke hati. Sepertihalnya saat ini, Bapak duduk disini dan kamu terbaring disamping Bapak.


Innalillahiwainnailaihirojiuun.
Tidurlah nak, tidurlah dengan tenang. Istirahatkan pikiran yang lelah dan gelisah ini. Karena tidur dan kematian itu rahim (kasih)-Nya.
Esok hari, Ayah mesti bawa dirimu turun. Untuk kuburkan mu dekat pengungsian..

(Bapak tersebut menemukan anak sulungnya meninggal. Terbaring dikursi sofa ruang tengah, memegang pensil dan buku tulis matematika. Dia selesaikan PR matematikanya sampai larut malam, untuk dikumpulkan keesokkan harinya. Tugas sekolahnya selesai)



berkat ijin dari seorang teman, catatan ini saya ambil dari kumpulan catatannya di FB ini